Friend Zone: Cerpen Karya Siswa SMA Muhammadiyah 9 Surabaya
Judul Cerpen: Friend Zone, oleh Sinta Ferdiana kelas XI MIPA SMA MUSE
Pagi-pagi sekali, kakak membangunkanku dari tidur lelap yang telah merangkai segala mimpi pada malam kemarin. Kedua mataku masih terpejam, tidak bisa diganggu karena hari ini hari Minggu. Hari di mana aku tidak akan bangun pagi, serius.
“Apa sih kak, ganggu aja orang lagi tidur”.
“Di luar ada Genta”.
Ih, ngapain sih kemari pagi-pagi pasti mau ganggu gue nih.
Dengan sangat malasnya, aku berjalan menemui manusia yang hidupnya bisa dibilang sangat mengganggu hidupku. Genta. Tetangga sekaligus teman seperjuangan, kemanapun aku pergi, selalu dengannya. Ya, bisa dikira-kira sampai lumba-lumba hidup di darat, huft.
Saat aku sampai di ruang tamu, penampilanku tidak karuan layaknya orang bangun tidur sambil mengucek mata seperti orang tak punya dosa.
“Genta tadi ingin pamit ke kamu, tapi karena kamunya kelamaan ia pergi dulu, ia bilang ke ayah kalau kamu harus baca pesan whatsapp darinya” ujar ayah yang sedang duduk di sofa sambil menikmati secangkir teh.
Apa? Pergi? Pergi kemana coba tuh bocah, tumben bener.
Aku hanya mengangguk mengiyakan perkataan ayah, lalu menuju kamar untuk mengecek pesan whatsapp yang dimaksud tadi.
“Nuna gadis kecil yang super nyebelin, gue pamit ya. Terima kasih sudah jadi teman gue selama gue di Bandung. Sekarang gue harus pergi ke Jakarta. Papa di amanahi untuk meneruskan karir di Jakarta, jadi pindah rumah sekalian. Maaf ya kalau sering gangguin elo, sekarang udah nggak ada yang gangguin kok, gue pamit ya”.
Jleb.
Apa ini? Apa maksudnya? Mengapa ia tidak pernah bilang? Ia meninggalkanku tanpa memberi tanda apapun. Memang bukan siapa-siapa cuma temen, memang sih ngeselin. Tapi, dia adalah makhluk favorit buat kuajak berantem, serius. Walaupun begitu, dia yang paling mengerti lika-liku hidupku. Ah, dari pada aku banyak omong lebih baik menyusulnya ke bandara, sebelum pesawatnya berangkat, ya bener aku harus menyusulnya.
“Paaa aku berangkat dulu ya” pamitku ke papa sambil cepat-cepat bergegas mencari taksi yang berlalu lalang. Akhirnya, setelah kurang lebih 10 menit menunggu ada taksi yang menerima tumpangan. Aku menaikinya dan menyuruh sopir taksi untuk lebih cepat lagi. Karena pesawat Genta akan terbang 20 menit lagi. “Pak, mohon lebih cepat ya” ujarku sambil menunjukkan ekspresi yang sangat tergesa-gesa. Sopir taksi pun menuruti perintahku dan tibalah di bandara tempat dimana Genta akan terbang ke Jakarta.
Tanpa basa-basi langsung kubayarkan rupiah senilai seratus ribu pada pak sopir dan tidak kuambil kembalianya. Langsung kubuka pintu mobil dan berlari mencari pria bertubuh tinggi, berkulit putih, berkaca mata hitam dengan hidungnya yang tidak mau sembunyi, benar aku sedang mencari wajah Genta. Kalian bisa bayangkan bukan bagaimana terburu-burunya diriku saat itu?
Kucari dan kutelusuri seluruh sudut bandara. Namun, sama sekali belum kutemui batang hidungnya. Aku putus asa, duduk di tempat tunggu, menutup wajahku dengan kedua telapak tangan, lalu meneteskan air mata. “Tuhan, aku ingin bertemu dia untuk terakhir kalinya” ucapku sambil terus menikmati derasnya tetesan air mata.
Tiba-tiba ada sosok pria yang duduk di sebelahku lalu mengatakan “Hei bocah ingusan, gue masih disini kali alay banget duh”.
Aku menoleh dan serentak kaget “Elo!”
“Hmmm iya gue”.
Sungguh memalukan, bisa-bisanya sih gue cengeng gini di depan dia, rese.
“Eh itu anu, gue pulang dulu ya babi” tanpa banyak basa-basi dan menanggung malu, aku mengusap air mata yang tadinya deras sekali lalu berdiri dan memilih untuk meninggalkan tempat itu. Namun, ia mencegahnya.
“Duduk” ucapnya sambil menarik tanganku dan memintaku untuk duduk, sangat membuatku gugup.
“Lo ke sini mau nemuin gue kan alien?” ucapnya lagi.
“PD banget apaan sih ya enggak lah, kan lo tadi juga udah pamit ke gue via whatsapp gimana sih” ujarku sambil nyengir seakan-akan menutupi semua.
“Mata lo gak bisa bohong alien”.
‘Alien’. Ya, ia memang suka sekali memanggilku dengan panggilan itu. Panggilan yang ia buat sejak masih duduk di bangku SD. Yang ia budayakan sampai saat ini, bangku SMA. Sedangkan aku memanggilnya dengan panggilan ‘babi’ sangat cocok untuk memanggil manusia super ngeselin sepertinya, cocok sekali bahkan.
“Hmm...”
“Udah ngaku aja deh, bener kan dugaan gue?”
“Kenapa sih Ta lo pergi ninggalin gue sendiri di Bandung, entar yang nemenin gue keliling Bandung buat cobain kuliner seblak siapa?”
“Tuh kan gue tau kali kalau lo gak rela gue pergi” ledeknya.
“Tau ah”.
“Ngambek nih” ledeknya lagi.
“Gue pulang”.
“I-iya Na, jangan ngambek dong. Jadi gue minta maaf, gue tau gue banyak salah sama lo, dan semoga lo mau maafin ya. Gue berharap, disini lo nemuin temen seperjuangan yang lebih baik dari gue, oke Na?”
“Huft. Semua tidak semudah yang lo pikirin, sulit”.
“Oh ya jangan lupa gue titip salam sama anak baru di sekolah kita, hehe. Siapa tuh namanya? Sa.. sa apaan itu lupa gue” pikirnya sambil menggaruk-garuk kepala.
“Alisa?”
“Nah tuh. Duh emang cantik banget tuh, tapi sayang bukan punya gue” ucapnya sambil menahan tawa.
Nyebelin. Disaat seperti ini dia masih bahas perempuan lain? Padahala gue disini tidak merelakan kepergiannya. Eh tapi apaan sih.
“Yaudah deh, besok gue salamin ke dia”.
“Beneran? Emang lo tuh baik banget sumpah” ucapnya heboh sambil mengacak-acak rambutku. Di tempat umum masih aja bikin kesel. Kebayang nggak sih?
“Kalau ada maunya aja lo bilang gue baik, dasar babi”.
“Eh Na, pesawat gue udah mau berangkat. Gue pamit ya alien. Jaga diri lo baik-baik disini. Awas sampai kenapa-kenapa gue nggak akan maafin semesta, gue akan tutup semua dagangan seblak di kota Bandung, serius” ucapnya panjang lebar kali tinggi sambil mencubit hidungku sampai kemerahan.
“Sakit tau. Aduh apaan sih udah deh sana berangkat, gue bisa jaga diri kok nggak ada elo gue nggak mati, tenang aja” ucapku dengan berlagak songong, padahal sesungguhnya aku ingin menangis sekencang-kencangnya. Udah kalian jangan bilang, jadikan rahasia.
“Oke gue pergi dulu, sampai jumpa alien”.
Hanya kubalas dengan senyuman, senyuman yang sangat palsu. Seharusnya aku menangis. Aku tidak rela ia pergi. Kalau aku boleh jujur, aku menyimpan perasaan untuknya. Namun, aku tidak ingin ia mengetahui. Aku tidak ingin bermusuhan dengannya setelah ia tau. Sudah, hanya sebatas hubungan pertemanan antara babi dan alien saja, cukup aku tidak mau bermusuhan aku tidak mau kehilangan. Aku berharap ini bukanlah pertemuan terakhir, sudahlah aku tidak sanggup untuk membahasnya. Kalian bisa bayangkan bagaimana suasana hatiku saat ini, kacau.
---
Di sepanjang ujung jalan kota Bandung berdua dengan sopir taksi, aku mengeluarkan amarah yang sedari tadi kupendam. Aku menangis, kecewa, sedih, marah. Semua diaduk menjadi satu dalam suasana hati yang bisa dibilang bad mood.
Karena kepergian Genta? Tidak, tidak hanya itu. Melainkan ucapan genta yang membuat aku cemburu. Ucapannya saat membahas Alisa. Aku memang tidak secantik dan sepintar Alisa, aku hanya gadis bodoh yang mengagumi teman sendiri, sungguh hal yang sangat bodoh. Jika kalian bilang ini hal yang wajar, maka kalian akan bertentangan denganku.
Tidak akan berpisah sampai lumba-lumba hidup di darat.
Tidak perlu menunggu hal mustahil ini terjadi. Kini, kami sudah beda kota. Sudah bukan lagi alien dan babi yang selalu bertengkar bila sedang berdua. Bukan lagi alien dan babi yang mengelilingi kota Bandung untuk menjelajahi cita rasa kuliner seblak. Kini semua hanya tersisa tangis sedu saat mengingat kenangan itu, hal indah yang telah kelam.
“Ini ya pak uangnya” ucapku sambil memberikan ongkos untuk sopir taksi. Berjalan dari pagar menuju dalam rumah seperti orang yang kehilangan semangat hidupnya, lambat sambil melamun. Tidak usah bingung, aku tau kalian merasa aku ini aneh, memang.
“Udah ketemu Genta nya?” tanya kak Diva yang sedang nyemilin kue kesukaannya di ruang tamu. Tidak kujawab, aku langsung menuju kamar. Karena bila aku menanggapi, maka aku akan menangis. Kini biarkan aku menyiksa tangisan itu didalam hati. Aku butuh waktu sendiri.
Keesokan harinya, saatnya kembali ke sekolah karena sudah hari Senin. Membosankan, harus mengikuti upacara bendera. Harus berpakaian lengkap dan berdiri dibawah terik matahari sampai upacara selesai. Coba aja ada Genta, pasti dia punya banyak cara seperti biasanya agar kami tidak mengikuti upacara bendera. Kok jadi ingat Genta lagi sih Nuna?
“Selamat pagi Nuna!!!” sapa Salsa dan Amanda dengan sangat kompak sehingga membuat telingaku ingin copot. Mereka adalah kedua temanku di kelas. Hanya dengan mereka aku bisa melampiaskan amarahku, tapi tidak sekarang.
“Apaan sih, masih pagi berisik banget lo berdua”.
“Eh lo kok sendirian aja, itu si Genta ke mana? Nggak masuk?” tanya Amanda dengan sangat heboh.
“Tau ah” jawabku sambil berjalan lebih cepat dari mereka, aku tidak ingin membahas sekarang. Yang ada nanti saat upacara aku terdeteksi menjadi siswa paling kucel karena telah menangis.
Mereka diam sambil berjalan mengikutiku. Bila aku sudah bete seperti ini, mereka lah memang yang paling paham. Jadi melihatku seperti ini sudah sangat biasa menurut mereka.
Di sepanjang jalan menuju kelas kami tetap saling diam tak bersuara.“Ada apa ya dengan Nuna?” bisik Amanda kepada si Salsa yang tidak sengaja kudengar. Mungkin, Salsa hanya geleng-geleng mempertandakan bahwa ia tak tau apa-apa.
Sampai dikelas, aku hanya murung dan tidak ingin berbicara dengan siapapun termasuk Amanda dan Salsa. Aku tidak semangat. Yang aku ingikan saat ini hanyalah bergurau membicarakan hal-hal konyol dengan Genta, berkejar-kejaran karena saling tidak terima, menemaniku makan sampai aku kekenyangan. Ya walaupun ada Salsa dan Amanda namun kurasa masih sangat kurang lengkap. Ada satu hal yang menghilang, yang menurutku itu Genta.
“Coba kamu cerita sama kita bedua deh, ada apa sih Na?” tanya Salsa memulai obrolan.
“Genta pindah sekolah, tidak hanya itu. Ia juga pindah rumah. Papanya dipindah tugas di Jakarta. Ah sudahlah” ujarku pada mereka berdua sambil menahan kesedihan.
“Ya elah Na. Cuma gitu doang lo jadi bete seperti ini?” sahut Amanda.
“Gue seperti kehilangan sesuatu yang biasanya mewarnai hari-hari gue. Genta itu ibarat pensil warna dan gue buku gambar. Gue hanyalah kertas putih yang membosankan dan akan menarik bila diwarnai dengan pensil warna. Dan apabila pensil warna tidak ada, maka gue akan kembali menjadi buku gambar yang membosankan. Karena tidak bisa mewarnai halaman selanjutnya”.
“Gue tau, gue mengerti Genta segalanya buat lo. Tapi kok bisa Genta memiliki arti yang luar biasa di hidup lo? Bukannya ia sekedar teman, terus nyebelin bagi lo, terus...”
“Stop. Udah yuk bahas yang lain”.
Apa-apaan sih gue. Bisa-bisanya mengartikan Genta sebagai sosok yang sangat berarti? Kan mereka nggak tau yang sebenernya. Huft salah besar.
---
“Jangan lupa datang ke acara sweet seventeen gue ya” ucap Alisa membagikan undangan pada teman-teman sekelas saat pulang sekolah, “Eh Na, jangan lupa datang ya. Ini nitip undangan buat Genta juga” tanpa merespon apapun aku hanya mengiyakan dan berdiri dari bangku untuk segera pulang.
Sampai di rumah, aku memandangi undangan itu. Apa aku harus memberi tau Genta? Aku memutuskan untuk membuka whatsapp dan lebih baik kuberi tau, walau aslinya aku tidak ingin memberi tau.
“Ta, Alisa ngundang elo ke acara sweet seventeennya, besok malam”.
Singkat saja. Tidak harus panjang lebar untuk membahas orang lain. Aku hanya ingin ruang lingkup yang isinya hanya kita berdua. Tidak orang lain. Kalian jangan bingung, aku memang egois. Aku hanya ingin dia.
“Oh oke Na, thanks infonya. Gue pasti datang kan yang ulang tahun bidadari gue hehehe”.
Ngeselin. Sebegitu berharganya Alisa bagi Genta. Aku mah apa? Hanya bocah SMA yang menyiksa dirinya sendiri dalam zona pertemanan yang sudah jelas tidak akan menjalin hubungan lebih dari sekedar teman. Bodoh, sangat bodoh. Mungkin jika ada perkumpulan orang-orang bodoh yang masih mau menjalani hal bodohnya, itu pasti aku salah satunya.
Keesokan harinya, sepulang sekolah aku dan kedua temanku mengelilingi Bandung dengan tujuan mencari kado untuk acara ulang tahun Alisa nanti malam. Bagiku sangat membosankan, mencarikan sesuatu yang spesial untuk orang yang jelas-jelas membuatku merasa tersaingi. Aku tau aku salah, tapi ya bagaimanapun juga pemikiranku tetap pada pernyataan awal, kalian jangan mengubahnya.
Saat di suasana memilihkan kado untuk Alisa, dari kejauhan aku melihat sosok laki-laki yang tidak asing lagi untuk kukenali. Ya, itu genta. Aku tidak salah lihat, benar itu Genta!
“Ta!” sapaku dari kejauhan sambil berlari menghampirinya.
“Eh elo, alien!”
“Kok lo ke Bandung nggak bilang-bilang sih?”
“Hp gue rusak, maaf ya...”
“Oh. Sans kali, lo mau apa ke sini?”
“Cari kado untuk Alisa. Nah kebetulan ada lo nih, ikut gue yuk!”
“Hah kemana?”
“Muter-muter lah, gue bingung pilih kado”.
Menyebalkan. Genta memintaku untuk ikut dengannya mencari kado untuk Alisa?
“Harus sekarang?”
“Ya kan nanti malam acaranya. Udah yuk. Eh Sal, Nda gue pinjem Nuna dulu ya entar gue yang anterin dia pulang”.
Amanda dan Salsa hanya mengangguk tak mengerti maksud Genta yang mendadak muncul lalu mengajakku pergi. Terlihat dari ekspresi mereka.
“Udah yuk naik” ajak Genta untuk menaiki motornya.
Saat sampai di toko baju, Genta memintaku untuk memilih gaun yang menurutku indah, dan memintaku mencobanya. Entah apa yang akan ia lakukan.
“Ini bagus nggak? tanyaku setelah mengenakan gaun yang telah kupilih. Warnanya kuning, simpel, seperti princess belle yang ada di kerajaan dongeng.
“Cantik”.
Ya Tuhan... Ingin rasanya aku pingsan setelah mendengar Genta bicara seperti itu.
“Gombal deh”.
“Udah bagus kok, tinggal bayar itu untuk Alisa”.
“Oh”. Sakit. Sakit sekali mendengar ia mengatakan itu setelah pujian yang ia lontarkan, sedangkan aku sangat terlihat baik-baik saja. Apa-apaan ini?
Sepanjang perjalanan, menikmati indahnya kota Bandung dan keruhnya udara di siang itu aku duduk berdua diatas motor tua milik Genta. Aku memang rindu saat-saat seperti ini. Namun, kurasa semua sudah berubah sejak Genta menyukai Alisa, dan kalian harus tau kini aku membenci hal ini.
“Makasih” hanya satu kata yang kuucapkan, untuk saat ini entah setelah apa yang terjadi aku jadi malas untuk berbicara dengannya, sungguh.
“Jutek amat, entar suka lo” ledeknya.
“Udah, balik sana!”
“Iya deh gue pamit”.
Saat aku hendak membuka pagar ia menarik tanganku. Oh Tuhan, apa lagi ini? Mengapa setiap Genta menyentuh tanganku rasanya aku bahagia, ingin berteriak.
“Apa lagi?”
“Entar malem lo harus berangkat sama gue, titik”.
“Sebuah paksaan?”
“Sebuah kewajiban, udah ya nanti gue jemput jam tujuh malam awas lelet, bye”.
“Eh tunggu” belum juga aku menerima ajakannya, ia sudah balik duluan. Emang begitu nyebelinnya udah tingkat langit ketujuh.
Aku berpikir, apa lebih baik aku menyudahi perasaan ini? Jika itu lebih baik, maka mau tidak mau aku akan membunuh perasaan yang baru tumbuh ini. Mungkin sangat sulit dan butuh waktu, tapi bagaimanapun juga itu yang terbaik. Iya aku harus membunuh perasaan ini.
Hal ini membuat aku melamun. Tanpa sadar, bunda menghampiriku dan mengagetkanku. “Heiii!!!”
“Bunda, ngagetin deh”.
“Abisnya kamu melamun, ada apa sih?”
“Urusan anak muda”.
“Ih dikira bunda nggak pernah muda gitu?”
“Bun aku ngantuk nih” kataku seraya memberi kode agar bunda tidak terlalu kepo. Berhasil!
Malam harinya, sesuai undangan dari Alisa. Aku bingung memilih dress yang cocok untuk kukenakan di pesta ulang tahunnya. “Nah ini aja deh simpel hitam polos” batinku. Aku memang tipe orang yang tidak suka ribet, tomboy, dan tidak seperti perempuan anggun pada umumnya. Jadi, harapan untuk secantik Alisa mungkin gugur tersisa satu persen.
Mobil Genta menunggu di depan. Sesuai janjinya berangkat denganku tadi. Kini, aku sudah didalam mobil, berdua dengannya.
“Beneran lo cantik alien, gak seperti biasanya”.
“Ih ngegombal mulu, yuk berangkat”. Aku memang tidak ingin terlalu larut pada sebuah pujian kecil yang selalu dilontarkan Genta. Memang aku senang, tapi sampai kapanpun aku hanyalah temannya, iya temannya. Aku tidak boleh berharap lebih.
Sampai di lokasi, aku memilih untuk berkumpul dengan Amanda dan Salsa. Ya, mereka sudah sampai di lokasi terlebih dulu.
“Hei, ke sini dengan Genta?” tanya Amanda.
“Iya nih”.
Kami berbincang-bincang. Begitupun juga anak-anak lainnya. Ya, beginilah suasana anak remaja bila sedang berkumpul, ada saja yang diobrolkan.
“Eh ambil minum yuk di sana?” ajak Salsa.
“Yuk”.
Meja pengambilan minum dekat sekali dengan tempat duduk Alisa. Di sana aku melihat ia sedang berduaan dengan Genta, entah membicarakan apa. Intinya aku cemburu. Aku memilih keluar meninggalkan tempat itu, entah Genta melihat atau tidak aku sangat tidak peduli. Aku tidak sanggup melihatnya dengan Alisa, aku tidak suka.
Semilir angin malam yang menyelimuti kulitku semakin berhembus. Dingin sekali. Sepi sunyi, tidak ada yang menemaniku kala itu. Aku meneteskan air mata. Aku merasa tersiksa, aku tidak akan pernah bisa menganggap hubungan ini sebatas zona teman. Genta memperlakukanku dengan spesial. Namun disisi lain ia juga membuatku kecewa. Aku tidak mengerti, aku tidak bisa memahami perasaanku sendiri.
Tiba-tiba ada seseorang dari belakang yang menutupkan jaket di kedua lenganku, Genta. Entah mau apa lagi dia, intinya aku segera menghapus air mataku.
“Na” ucapnya memulai obrolan.
Aku tidak menjawab sepenggal kata pun.
“Na, lo salah mengira”.
Dan aku masih tak ingin berbicara. Kini ia berada tepat di depanku, sepertinya ingin membicarakan sesuatu yang lebih serius.
“Na gue jujur dari hati gue yang paling dalam, gue suka sama lo bukan Alisa atau siapapun itu lah. Gue bahagia di deket lo. Gue nggak pengen lo itu kenapa-kenapa. Gue pengen jadi orang yang bisa jagain lo dari siapapun yang akan jahatin lo. Alasan gue kesini bukan untuk menyepesialkan hari ulang tahun Alisa. Gue ke Bandung buat bertemu sama lo. Gue nggak mau ngejalanin hubungan serius dengan lo karena gue nggak mau kita berujung putus, endingnya kita nggak akan berteman lagi. Gue nggak mau itu terjadi, gue nggak mau kehilangan temen seperjuangan gue yang nantinya bakal jadi pendamping hidup gue. Gue masih pengen seneng-seneng temenan sama lo. Tolong jangan berpikir bahwa gue suka Alisa, gue tau dari temen lo tadi. Dan tadi gue minta lo untuk cobain gaun itu untuk lo sendiri, bukan untuk Alisa. Sekarang gaunnya ada di mobil. Bandung tidak ada apa-apanya tanpa tawa lo. Gue nggak pengen lo sedih, ayo senyum Na. Gue adalah penggemar berat senyum lo, ayo senyum”.
Mendengar Genta mengatakan itu, aku tersenyum lega. Lalu membalasya “Gue bersyukur kenal lo babi”.
Kini tak perlu membunuh perasaanku sendiri, menyiksa sebuah perasaan yang tak bersalah lalu membuangnya. Zona teman memang sangat cocok untuk kujalani dengan Genta. Karena masih remaja, tidak asik bila dibuat serius. Aku bersyukur mengenalnya.
Posting Komentar untuk "Friend Zone: Cerpen Karya Siswa SMA Muhammadiyah 9 Surabaya"