Lisensi

TqR4TFX7TFdmYFG4TFI4TZNbTKTusBSpMXQpaVQps6ft

Sejarah Korupsi Sebagai Manifestasi Hari Anti Korupsi Internasional

smam9sby
0 Comments
Artikel,
Sejarah Korupsi Sebagai Manifestasi Hari Anti Korupsi Internasional

Sebuah Pengantar

www.ismuba-smam9sby.sch.id - Ada yang tau tanggal 9 Desember ada peringatan apa di seluruh penjuruh dunia? mungkin dari beberapa segenap masayarakat enggan mengingatnya termasuk saya pribadi. Kita harus ketahui bahwa tepat pada tanggal 9 Desember merupakan hari anti korupsi se dunia. Apakah itu korupsi? kalau hal ini pasti semua masyarakat Indonesia sudah mengetahuinya, bahwa korupsi identik dengan uang, identik dengan penggelapan dana, dan lain sebagainya namun apa pengertian dari korupsi? pertanyaan tersebut mungkin dapat membingungkan berbagai pola pikir masyarakat, karena kebanyakan asumsi tersebut tidak ada pada benak mereka, secara sederhana mereka tau korupsi adalah perbuatan tidak baik, perbuatan yang tidak menguntungkan pada mereka.

Lantas, mengapa nama korupsi itu ada? Hal inilah perlu kita ketahui semua, asal muasal sejarah korupsi menurut Hans G.Guterbock, “Babylonia and Assyria” dalam Encyclopedia Brittanica berawal dari penyuapan para hakim dan tingkah laku para pejabat pemerintahan. Secara umum sebagaimana dalam wikipedia menjelaskan bahwa asal kata korupsi dari bahasa latin corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.

Pertanyaan terakhir, mengapa pada tanggal 9 Desember dirayakan sebagai hari korupsi sedunia?, untuk menjawab soal ini, kita harus merujuk terkait sejarah PBB yang mendunia. Dari survey PBB ) mencatat bahwa setiap tahunnya sekitar $2,6 triliun lenyap akibat korupsi. Angka tersebut setara dengan 5 persen PDB (Pendapatan Domestik Bruto) global. Oleh karena itu akhirnya PBB sejak tanggal 31 Oktober 2003 memberlakukan Konvensi Anti-Korupsi, dan akhirnya menetapkan tanggal 9 Desember sebaai hari Anti-Korupsi Internasional oleh Majelis Umum PBB lewat Resolusi 58/4. Keputusan tersebut diambil untuk meningkatkan kesadaran betapa bahayanya korupsi serta menunjukkan peran PBB (yang diwakili UNDP dan UNODC) dalam memberantasnya.

Sejarah Korupsi Didunia

Sejarah  korupsi  bermula  sejak  awal  kehidupan  manusia bermasyarakat,  yakni  pada  tahap  tatkala  organisasi  kemasyarakatan  yang rumit mulai muncul. Seperti gejala kemasyarakatan lainnya, korupsi banyak ditentukan oleh berbagai faktor. Berdasarkan penunjukan waktu dari Hans G. Guterbock, “Babylonia and Assyria” dalam Encyclopedia Brittanica menunjukkan bahwa catatan kuno mengenai masalah ini menunjuk pada penyuapan para hakim, dan tingkah laku para pejabat pemerintah. Dalam sejarah dunia, khususnya di Mesir, Babilonia, Ibrani, India, Cina, Yunani dan Romawi Kuno, korupsi seringkali muncul ke permukaan sebagai masalah.

Pada zaman kekaisaran Romawi, Hammurabi dari Babilonia, yang naik tahta sekitar tahun 1200 sebelum masehi memerintahkan kepada seorang gubernur provinsi untuk menyelidiki suatu perkara penyuapan. Shamash, seorang raja Assiria (sekitar tahun 200 sebelum Masehi) bahkan menjatuhkan pidana kepada seorang hakim yang menerima uang suap.

Tidak hanya pada zaman kekaisaran Romawi, sejarah juga mencatatkan mengenai korupsi di Cina kuno. Dalam buku Nancy L. Swann yang berjudul Food and Money in Ancient China sebagaimana dikutip dari Han su karya Pan Ku menceritakan bahwa pada awal berdirinya dinasti Han (206 SM) masyarakat menghadapi saat-saat yang sulit, yang mana saat itu terjadi kesulitan pangan sehingga menyebabkan setengah dari jumlah penduduk saat itu meninggal dunia. Tidak hanya itu, Peraturan pemerintah saat itu bersifat tiran dan menindas pengutipan pajak dan pungutan gelap juga terjadi dimana- mana.Pada zaman tersebut korupsi merupakan masalah yang sangat gawat.

Orang-orang bijaksana  di  Cina  menentang  korupsi  dalam  kata-kata  yang jelas. Banyak diantara kaisar Cina menaruh simpati kepada orang yang berusaha memberantas  kejahatan korupsi, namun segera timbul  hambatan ketika ia merajalela kembali, baik karena terjadi pergantian penguasa ataupun tekanan keadaan seperti paceklik, bencana alam atau pecahnya peperangan.

The  History  of  the  Former  Han  Dinasty  yang  ditulis  oleh  Pan  ku menceritakan bahwa korupsi oleh para pejabat pemerintah berlangsung sepanjang sejarah cina.  Para kaisar tidak bersikap sama terhadap korupsi sedikit saja yang benar-benar cemas terhadapnya. Salah satu contoh yang jelas  ialah  kaisar  Hsiao  Ching  yang  naik  tahta  pada  tahun  157  SM. Diceritakan bahwa ia membatasi keinginannya dan menolak hadiah-hadiah atau memperkaya diri sendiri, ia juga mengadakan perubahan hukuman yang diperkenalkan oleh ayahnya, Kaisar Hsiao Wen. Ia meninggalkan kebiasaan menghukum penjahat dengan melibatkan istri dan anak-anak mereka serta menghapus hukuman pengebirian.

Selanjutnya, pada masa sesudah Perang Dunia Kedua kemerdekaan negara-negara Asia dari pemerintahan barat memberi gambaran secara jelas dalam hal mewabahnya korupsi yang menandai periode pasca perang. Dibawah pemerintahan kolonial terdapat juga korupsi, tetapi dinamika dan gejalanya sangat berubah – menyusul bebasnya negara-negara itu dari penjajahan  Barat.  Perubahan drastis  ini  terutama  disebabkan oleh  hal-hal berikut: a.  meluasnya korupsi selama  masa  peperangan  yang mendahului masa kemerdekaan tersebut; b. membengkaknya urusan pemerintahan secara mendadak ; c. meningkatnya kesempatan korupsi dalam skala yang lebih besar dan lebih tinggi secara mendadak; d. lahirnya berbagai tingkat kepemimpinan yang terdiri dari orang-orang yang marabat moralnya rendah; e.  tidak  dimilikinya  pengalaman  oleh  para  pemimpin  perjuangan kemerdekaan   dalam   membina   pemerintahan   yang   bersih   dan   efisien. Beberapa  diantaranya  bersikap  masa  bodoh  dan  kurang bermoral;  dan  f. terjadinya  menipulasi serta   intrik-intrik  melalui   korupsi  dan  kekuatan keuangan dan bisnis asing.

<3>Sejarah Korupsi di Indonesia dan Permasalahannya
Sejarah tindak pidana korupsi di Indonesia dimulai pada masa penjajahan kolonial Belanda. Saat itu bentuk-bentuk kejahatan korupsi masih sangat sederhana, seperti terlihat dari perumusan pasal-pasal KUHP, misalkan suap atau memaksa seseorang memberikan sesuatu oleh pejabat/pegawai negeri. Keadaan ini kemudian berubah mengikuti perkembangan zaman, sehingga   salah   satu   isu   yang   menjatuhkan   orde   lama   juga   adalah merajalelanya korupsi keseluruh lapisan masyarakat. Korupsi secara harfiah berarti busuk, buruk, bejat, dapat disogok, atau suka disuap. Oleh karena itu, didalam KUHP semula diatur hanya masalah suap saja. Pada masa orde baru berkuasa, masalah korupsi adalah menjadi politik pemerintah. Maksudnya pemerintah memang sengaja membiarkan korupsi merajalela sebagai harga membeli kesetiaan para pejabat pemerintah dan para konglomerat/pengusaha. Ini misalnya ditandai dengan pemberian fasilitas/keringanan   kepada   orang-orang   tertentu   atau   bahkan   untuk menikmati monopoli, yang melibatkan anak, cucu, menantu, dan orang-orang dekat penguasa mulai dari pusat sampai daerah, yang disebut dengan kroni- kroni.

Berkat  tidak  adanya  oposisi  di  Indonesia membuat  praktek  korupsi semakin subur. Bahkan terdapat dugaan tokoh-tokoh partai pun menikmati fasilitas kredit tanpa agunan, sehingga macet pembayaran dan beberapa bank bangkrut. Di era awal Reformasi kegiatan pemberantasan korupsi belum berjalan sama sekali. Banyak pengaduan atau temuan masyarakat tentang kasus-kasus yang diduga korupsi, tetapi penyelesaiannya lamban. Bahkan, ada kesan penyidikan hanya berputar-putar di tempat saja. Bukan mustahil pengusutan tindak pidana korupsi ini menimbulkan tindak pidana korupsi baru, seperti apa yang dialami mantan Jaksa Agung Republik Indonesia.

Selanjutnya korupsi terus menerus menunjukkan perkembangannya, sebagai respon akan hal  tersebut pemerintah kemudian membentuk suatu komisi untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberantas korupsi di Indonesia berdasarkan UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini membawa sebuah perubahan besar dalam sejarah pemberantasan tindak pidana korupsi di indonesia.

Pada  era  keterbukaan  informasi  seperti  sekarang  ini  masyarakat semakin ingin tahu dan menuntut keterbukaan informasi mengenai perkembangan penanganan kasus korupsi. Media dalam hal ini memberikan andil yang besar terhadap penyampaian informasi mengenai tindak pidana korupsi yang sedang terjadi di Indonesia. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh KPK pada tahun 2011 terdapat tiga besar (modus) kasus korupsi yang mendapatkan perhatian masyarakat paling besar yaitu kasus pajak yang melibatkan Gayus Tambunan, kasus Bank Century, serta kasus Wisma Atlet yang melibatkan  Nazaruddin. Kasus  korupsi lain  yang menjadi  perhatian sebagian kecil responden adalah kasus penyuapan yang melibatkan Arthalita Suryani, Kasus Bank Indonesia yang melibatkan Aulia Pohan, Kasus BLBI, Kasus korupsi APBD di sejumlah daerah, Kasus kriminalisasi KPK yang melibatkan pimpinan KPK, dan kasus yang melibatkan Anggodo serta kasus-kasus korupsi lain di daerah di mana responden berdomisili. Hal tersebut semakin menunjukkan bahwa masyarakat menaruh perhatian besar terhadap kasus-kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia. Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa masyarakat menganggap korupsi suatu hal yang lumrah terjadi. Dalam survey yang sama, masyarakat diberikan  pertanyaan  apakah  korupsi  merupakan  suatu  hal  yang  lumrah (lazim) di indonesia? Hasil survey tersebut mengejutkan. Sebanyak 92,1% responden  menyatakan  bahwa  korupsi  merupakan  suatu  hal  yang  lazim terjadi,   kemudian   6,6%   responden   menyatakan   sebaliknya   dan   1,3%
responden menyatakan tidak tahu.

Hasil survey tersebut dapat dibandingkan dengan hasil survey yang berlangsung di Hongkong pada tahun 2005-2008. Survey tersebut juga memberikan pertanyaan yang sama yakni mengenai persepsi masyarakat tentang kelaziman korupsi. Seperti yang terlihat pada Tabel berikut. Tabel tersebut menunjukkan secara tidak langsung keberhasilan upaya-upaya pemberantasan korupsi di Hongkong dalam hal ini Independent Comission Against Corruption (ICAC) sehingga dapat mengubah persepsi kelaziman korupsi. Jika tahun 2005 responden yang menyatakan korupsi sebagai suatu hal yang tidak biasa berjumlah 67,6%, pada tahun 2008 jumlahnya meningkat menjadi  71,2%.  Walaupun  kemudian  terjadi  penurunan  di  tahun  2009 menjadi 59,90%, namun kemudian kembali meningkat menjadi 71% di tahun 2010.

Perbandingan  antara  Hongkong  dan  Indonesia  paling  tidak memberikan gambaran mengenai perbedaan persepsi yang terjadi di antara masyarakat Indonesia dan Hongkong. Mayortas masyarakat indonesia menganggap korupsi sebagai suatu hal yang lazim terjadi, sedangkan masyarakat Hongkong   dewasa   ini   lebih   berpikiran   maju   sehingga menganggap bahwa korupsi bukanlah suatu hal yang lazim. Kejahatan yang termasuk kategori white collar crime ini terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tidak hanya itu, tindak pidana korupsi juga telah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi, jumlah kerugian negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Peningkatan kasus tindak pidana korupsi di Indonesia membuat pemerintah memberikan respon dengan terus melakukan perbaikan-perbaikan dalam  hal  pengaturan  tentang  tindak  pidana  korupsi.  Hal  tersebut  dapat terlihat melalui perundang-undangan korupsi yang telah mengalami beberapa kali perubahan maupun pergantian. Dimulai dari Perpu No. 24/Prp/1960 yang kemudian disahkan menjadi UU No. 24/1960 (Era Orde Lama), UU No. 3/1971 (Era Orde Baru) yang menggantikan UU No. 24/1960, yang kemudian diganti lagi dengan UU No. 31/1999 (Era Reformasi), hingga revisi terakhir melalui UU No. 20/2001.

Tidak hanya dalam perundang-undangan nasional, sebagai bukti keseriusan pemerintah dalam memerangi korupsi, Indonesia juga turut berpartisipasi dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi tahun 2003 (United Nations Convention Against Corruption/UNCAC).
UNCAC   atau   yang   sering   disebut   Konvensi   PBB   anti   korupsi merupakan suatu Konvensi anti korupsi yang mencakup ketentuan-ketentuan kriminalisai, kewajiban terhadap langkah-langkah pencegahan dalam sektor publik dan privat, kerjasama internasional dalam penyelidikan dan penegakan hukum,   langkah-langkah   bantuan    teknis,    serta    ketentuan    mengenai
pengembalian asset.

Sumber diambil dari http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77374/potongan/S2-2015-338900-chapter1.pdf (latar belakang penelitian oleh mahasiswa UGM)

PENDAFTARAN PESETA DIDIK BARU

Kami mengundang putra terbaik Negeri untuk bergabung bersama SMA Muhammadiyah 9 Surabaya

Form Bantuan Whatsapp

Hello! Ada yang bisa dibantu?
×